merevitalisasi kemitraan Pabrik Gula dan Petani tebu

Posted: Juni 6, 2011 in Uncategorized

ada istilah pabrik gula tidak akan bisa hidup tanpa petani tebu, namun petani tebu juga tidak akan dapat eksis tanpa pabrik gula, hal ini menunjukkan bahwa kedua pihak ini saling membutuhkan.

karena ada saling keterkaitan dan keterbutuhan itu maka pabrik gula dan petani membuat satu kemitraan,  namun apakah kemitraan itu masih sesuai dengan khitahnya??

pertanyaan itu yang sampai saat ini membuat saya bertanya-tanya, keterheranan ini dari saya masuk di PG sampai sekarang pun masih belum hilang, kok bisa mereka melakukan model kemitraan seperti ini (menyimpang dari khittah)

kemitraan itu seharusnya saling membantu, saling percaya, saling terbuka, saling menguntungkan, saling menjaga dan lain-lain, namun yang terjadi adalah kebalikan dari itu.

dalam kemitraan ini tidak ada lagi saling percaya yang ada hanya syak prasangka yang buruk satu sama lain, misal dalam menyikapi rendahnya rendemen antar PG dan Petani saling menyalahkan, di pihak petani menganggap PG sudah tua dan tidak efisien lagi sehingga tingkat kehilangan rendemen sangat tinggi, sedangkan dari pihak PG menyalahkan petani yang sudah meninggalkan kaidah budidaya yang benar, penggunaan pupuk sipramin yang besar-besaran dan tebang angkut yang cenderung asal-asalan.

terus sampai kapan pola kemitraan semacam ini akan terus berjalan, ibarat PG sebagai suami dan Petani sebagai istri apa bisa hidup bahagia bila tidak ada rasa percaya di antara keduanya?? saya pikir rumah tangga itu akan seperti di neraka saja.

berawal dari itu saya berpikir pasti ada miss link, sehingga kemitraan ini tidak berjalan sesuai harapan, solusi pertama yang saya tawarkan adalah merubah pola kemitraan ini, dobrak semua penyimpangan-penyimpangan,  apa lagi yang berbau kepentingan pribadi.

pola kemitraan harus memenuhi asas:

  1. saling percaya
  2. saling terbuka
  3. saling menguntungkan
  4. saling bertanggung jawab
  5. komitmen
  6. konsekuen

untuk mewujudkan terlaksananya asas itu maka perlu di buat aturan main yang jelas. untuk itu perlu di bentuk sebuah satgas yang terdiri dari:

  1. Pabrik Gula
  2. petani ( petani besar dan petani kecil)
  3. paguyuban profesi petani tebu (APTR)
  4. dinas pemerintah terkait (Dishutbun, deperindag)
  5. lembaga peneliti (lembaga riset)

setelah anggota satgas terbentuk, maka di tentukan tugas dan peranan masing-masing demi tercapainya sasaran bersama dalam hal ini produktivitas dan rendemen tebu,

sebenarnya satgas seperti ini pernah di lakukan oleh pabrik gula dan asosiasi petani, namun masih dalam lingkup kecil (pengawasan penghitungan rendemen) belum di lakukan secara terpadu mulai tanam sampai panen (tebang angkut) dan pengolahan gula dalam pabrik.

apabila ini bisa di laksanakan maka syak prassangka yang ada lambat laun akan hilang dengan sendirinya, beberapa pabrik gula di luarnegeri sudah menerapkan sistem semacam ini, pada awalnya memang sulit namun penataan harus di lakukan secara menyeluruh dan tidak boleh di lakukan secara terpisah.

sebagai catatan tambahan pabrik gula harus berani dan transparan dalam penghitungan rendemen, salah satunya dengan meminimalkan campur tangan manusia dalam penghitungan rendemen, yaitu dengan cara otomatisasi secara keseluruhan mulai dari penghitungan brix, pol, glucose sucrose yang secara langsung masuk dalam server komputer. jadi inputan data tanpa di ketik oleh manusia, sehingga prasangka yang buruk dapat di hindari. (sistem terintegrasi mulai dari brix digital, dan sucromat terpasang dalam satu server sehingga langsung muncul angka rendemen)

semoga tulisan ini dapat menjadi satu bahan renungan yang tidak perlu cacian namun perlu masukan demi terwuudnya swasembada gula di Indonesia.

 

 

 

Komentar
  1. purnomo berkata:

    satu lagi yang perlu di tambahkan, petani harus mandiri, petani dalam hal ini asosiasi harus berani manjadi avalist bagi anggotanya (dalam hitungan saya seharusnya aset dalam organisasi petani itu sudah cukup untuk menjadi jaminan pada lembaga keuangan dalam hal ini BANK, namun lain ceritanya jika dana yang terkumpul selama itu menguap begitu saja seperti maaf ‘kentut’, yang baunya terasa namun bentuknya tidak ada)

Tinggalkan komentar